Senin, 23 Mei 2011

Sekolah Baru Untuk Udin


Langkah kaki berhamburan dari lapangan upacara. Ada yang langsung menuju ke kelas masing-masing, ada yang mampir ke kantin untuk istirahat sejenak sebelum bel masuk kelas berbunyi, ada pula yang ke toilet sekolah untuk sekedar cuci muka atau pun buang air kecil. Dan seperti biasa Udin yang sedang memeluk kedua kakinya di dalam toilet menunggu ada teman yang datang dan menolongnya keluar dari dalam toilet.
Dor… dor… dor…!!!!
Terdengar suara ketukan dari dalam toilet.
“TOLONG!!! Udin kekunci di dalam sini!” Teriak Udin yang masih sibuk mengetuk pintu toilet. Andi yang kebetulan berada di depan toilet membantu Udin untuk membukakan pintu toilet.
“Tunggu sebentar ya, Din. Saya cari bantuan dulu. Pintunya terkunci.” Jawab Andi berusaha membuka pintu toilet yang terkunci. Andi pun berinisiatif untuk meminta bantuan penjaga sekolah, karena dia pasti punya kunci cadangan. Dan tak butuh waktu lama akhirnya Udin bisa keluar dari dalam toilet sekolah.
Udin adalah anak yang memiliki keterbelakangan mental. Sudah empat tahun duduk di kelas 3 SD karena nilainya tidak pernah cukup baik untuk melanjutkannya di kelas 4 SD. Udin memiliki perawakan yang cukup normal dilihat dari segi fisik. Tinggi badannya yang jenjang dan kulit sedikit kecoklatan. Bermata coklat, hidung mancung dan dagu sedikit runcing. Tetapi Udin memiliki gangguan mental yang membuat dirinya berbeda dengan anak-anak lain.
Udin memiliki kebiasaan aneh, yaitu menggenggam tiga batu kerikil ketika sedang merasa terancam. Terkadang Udin tertawa sendiri di dalam kelas ketika gurunya sedang asyik mengajarkan rumus matematika di depan kelas. Dan tak jarang Udin sering dikeluarkan dari kelas karena dianggap mengganggu teman-temannya.  Sering kali Udin menghabiskan waktu sekolahnya di luar kelas. Dan setiap dia di keluarkan dari kelas, yang dilakukan Udin di gudang belakang sekolah adalah menulis dan menggambar apa saja yang dia senangi.
Udin mengikuti langkah Andi menuju ke kelas. Andi adalah satu-satunya yang Udin yakini tulus menjadi temannya. Tak lama ketika Andi dan  Udin masuk kelas, bel masuk pun berbunyi. Ibu Indah pun sedang menuju ke kelas Udin untuk mengajarkan kesenian. Pelajaran yang paling Udin senangi. Karena Udin senang menggambar. Anak-anak dalam kelas pun duduk sesuai kursi mereka. Ibu Indah kini telah ada di meja guru dan bersiap untuk mengajarkan hal-hal ajaib yang Udin senangi.
“Anak-anak, bagaimana upacaranya tadi? Capek, ya?” Tanya Bu Indah basa-basi terhadap murid-muridnya. Murid-murid pun menjawab serentak, “Capek, bu!!”
“Baiklah, kalau begitu ibu mau memberi pilihan buat pelajaran kali ini. Kalian mau menggambar dalam ruangan atau kita ke taman belakang sekolah buat menggambar. Disana kalian bisa menggambar apa saja yang kalian lihat. Pohon, bunga, kolam ikan, ruang kelas. Apa pun itu yang kalian sukai. Bagaimana???” Ibu Indah memberi pilihan kepada murid-muridnya. Dengan ekspresi gembira, murid-murid pun menjawab hampir serentak, “Ke taman belakang sekolah saja, bu.”
***
Anak-anak kelas 3 riuh berhamburan menuju taman belakang sekolah. Udin yang berjalan sendiri memeluk buku gambarnya sambil menunduk tiba-tiba terjatuh ketika Romi, anak kelas 6 mengait kaki Udin hingga terjatuh. Udin yang tidak mau mencari masalah dengan Romi langsung bangkit dan berlari menyusul teman-teman kelasnya.
“Idioooottttt!!!!!” Romi meneriaki Udin yang masih setengah berlari. Udin hanya bisa terdiam dan kembali menunduk mengikuti langkah kaki teman-temannya menuju taman belakang sekolah.
Sesampainya di taman belakang sekolah, Udin dan teman-teman kelasnya berkumpul di tengah taman untuk mendengarkan arahan dari Ibu Indah.
“Ya. Anak-anak, seperti yang ibu janjikan tadi kalian bebas menggambar apa saja yang kalian inginkan. Silahkan pilih apa yang jadi objek kalian. Dan kumpulkan sebelum bel berbunyi.” Setelah mendengarkan pengarahan dari Ibu Indah, Udin dan teman-temannya pun berhamburan mencari objek gambar mereka. Udin pun mencari-cari apa yang akan menjadi objek gambarnya. Setelah mengelilingi taman belakang sekolah, dia tidak tertarik sedikitpun untuk menggambar isi taman. Setelah mencari objek lain, Udin terpaku kepada Ibu Indah yang sedang duduk di kursi taman sambil membaca buku. Dan tanpa pikir panjang, Udin pun menjadikan Ibu Indah sebagai objek gambarnya.
***
Udin…. Udin….
Namamu norak dan juga idiot..
Udin… Udin…
Kamu idiot tidak pernah naik kelas..
Udin yang badoh, namanya Udin idiot..
Udin yang tidak naik kelas, namanya Udin idiot..
Romi dan kawan-kawannya menyanyi lagu “Udin Sedunia” yang diplesetkan untuk Udin. Udin yang mendengarnya menjadi panas dan tanpa sadar melempari tiga buah batu yang sering dia bawa ke arah Romi dan teman-temannya. Salah satu batu yang dilemparnya mengenai bola mata kanan Romi. Seketika Romi berteriak kesakitan dan memegangi mata kanannya. Udin langsung berlari dan bersembunyi di gudang sekolah.
***
Sudah seminggu Udin tidak mau pergi ke sekolah. Kejadian seminggu yang lalu membuat Udin takut untuk datang ke sekolah. Dia takut masuk penjara karena telah melukai mata Romi. Kejadin seminggu yang lalu mengharuskan Romi untuk memakai perban di mata kanannya. Orang tua Udin bersedia menanggung semua biaya pengobatan Romi sampai benar-benar sembuh total. Tetapi walau pun begitu, Udin tetap tidak mau masuk sekolah. Dia lebih senang mengurung dirinya di dalam kamar.
Hingga tiga bulan kemudian Udin tetap tidak mau masuk sekolah. Ibunya merasa hawatir dengan keadaan Udin yang lebih senang mengurung diri di kamar dan tidak mau makan. Ibunya sering membujuknya untuk makan, tetapi tak sesuap pun masuk dalam mulut Udin. Sampai akhirnya Udin jatuh sakit dan harus di rawat di rumah sakit.
Seminggu Udin dirawat di rumah sakit. Keadaannya mulai membaik dari hari kemarin. Tetapi Udin masih tetap terdiam dan tak bersuara sedikit pun. Dokter yang menanganinya pun menyarankan orang tua Udin untuk memanggil psikolog buat Udin.
“Bu, sebaiknya anda mencarikan psikolog buat Udin. Sepertinya dia mengalami guncangan hebat dalam hatinya. Mungkin dengan bantuan psikolog Udin bisa lebih baik dari sekarang.” Kata dokter yang menangani Udin.
“Dimana saya harus mencarikan Udin psikolog, dok?” Tanya ibu Udin Mulai cemas.
“Saya akan berikan rujukan ke ibu dan memberikan nomor telepon psikolognya.  Semoga bisa membantu.” Dokter pun membuatkan rujukan dan sekaligus memberikan nomor telepon psikolog untuk Udin.
“terima kasih, dok!”
***
Psikolog yang di rekomendasikan dokter keluar dari ruangan Udin. Namanya Bapak Ilham. Ibu Udin yang merasa cemas langsung menghampiri Pak Ilham dan menanyakan keadaan Udin.
“Bagaimana dengan anak saya, pak?” Tanya ibu cemas.
“Sudah berapa lama anak ibu sekolah di sekolahnya?” Tanya Pak Ilham kepada ibu Udin.
“Sekitar tujuh tahun, pak.” Karena sudah empat kali Udin selalu tinggal kelas.”
“Ohh, pantas..” jawab pak Ilham datar.
“Ada yang salah, pak?”
“Begini bu, anak ibu memiliki sedikit down syndrome atau yang sering dikenal dengan keterbelakangan mental. Tetapi karena situasi yang mungkin membuat anak ibu merasa tertekan, entah karena lingkungan keluarga atau pun sekolahnya sehingga anak ibu menjadi semakin parah. Apa ibu tidak punya inisiatif untuk menyekolahkan anak ibu di sekolah khusus buat anak-anak seperti Udin?” jelas pak Ilham kepada ibu Udin.
“Maaf, pak. Saya sebenarnya kurang begitu paham tentang hal itu. Jujur, saya ini lahir dan besar di kampung. Saya sendiri pun tidak lulus SMP. Kalau memang ada sekolah yang tepat untuk Udin, saya mau memindahkan Udin.”
“Baiklah. Nanti saya berikan ibu alamat sekolah khusus untuk Udin. Kalau begitu saya permisi dulu.”
“Terima kasih banyak, pak.”
***
Senin pagi yang cerah. Terdengar suara kicauan burung dibalik dahan-dahan pohon. Sesekali daun-daun kering berguguran meninggkalkan dahannya. Udin tampak siap dengan seragam sekolahnya. Seminggu yang lalu Udin sudah sembuh dan dibolehkan pulang dirumah. Kini Udin menunggu Ibu untuk mengantarnya ke sekolah barunya. Kini batu yang sering dibawa Udin kemana-mana diganti dengan tiga buah dadu, sesuai saran yang diberi Pak Ilham. Setelah siap, Udin pun berangkat menuju sekolah barunya.
Berbeda dengan sekolahnya yang dulu. Setiap hari senin dia harus mengikuti upacara bendera walaupun terkadang sering dikerjain oleh Romi dan teman-temannya dan mengunci Udin di dalam toilet sekolah. Kini di sekolahnya yang baru Udin tidak perlu lagi mengikuti upacara ataupun merasakan terkunci di dalam toilet sekolah. Udin tidak perlu merasa berbeda karena teman-teman barunya memiliki latar belakang yang sama dengannya. Dan di sekolahnya yang baru, Udin tidak perlu takut untuk tidak naik kelas.
Udin merasa bahagia dengan sekolahnya yang baru. Di tengah perjalanan menuju ke dalam sekolahnya, Udin berbalik ke arah pagar sekolah dan melambaikan tangannya kepada ibunya sambil berteriak, “UDIN SUKA DENGAN SEKOLAH BARU!!!” ibunya hanya bisa tersenyum simpul dan menitikan air mata bahagia.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar